Skip to content
Categories:

Tukang Insinyur Kelas 1

Post date:
Author:
Number of comments: 23 comments

Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan salah satu “master” structural engineering di sini, saya terpaku pada ungkapan “Tukang Kelas 1 versus Engineer”. Menarik, dan memang sering dijumpai dalam dunia konstruksi sehari-hari.

tukang012

Sama seperti beberapa waktu lalu, kami melakukan pengawasan sebuah pekerjaan atap baja di sebuah proyek yang kebetulan perusahaan kami sendiri yang melakukan desain struktur untuk keseluruhan bangunan termasuk atap. Kebetulan jenis atapnya adalah truss. Ada sebagian atap yang sudah jadi, tapi sebagian besar belum difabrikasi.

Sebagai catatan, pelaksana pekerjaan baja tersebut boleh saya katakan (maaf) abal-abal, walaupun menurut pengakuan rekannya, si empunya sudah sangat berpengalaman dalam melakukan pekerjaan konstruksi baja. Memang sih, saya bisa menebak dari istilah-istilah yang beliau gunakan sewaktu berbincang-bincang. Misalnya, si bapak menggunakan istilah “Cremona” untuk menunjukkan struktur jenis “Truss”. Saya agak tersenyum dalam hati (!?), soalnya saya tidak ingat lagi kapan terakhir kali saya mendengar istilah “Cremona” yang sebenarnya merupakan salah satu metoda yang digunakan untuk mencari gaya-gaya dalam pada sistem truss.

Singkat cerita, si bapak akhirnya mengusulkan untuk mengganti profil baja salah satu elemen diagonal truss di situ. Pada gambar rencana, kami tuliskan bahwa elemen tersebut harus menggunakan profil pipa. Tapi si bapak mau menggantinya dengan profil U (UNP) yang berat atau luas penampangnya kira-kira sama dengan profil pipa, dengan alasan kalau mau pake pipa katanya volumenya nanggung, dan lagipula sebagian besar truss yang kami desain memang menggunakan UNP. Intinya sih, mereka tidak mau repot-repot membeli (menyediakan) berbagai jenis profil dan ukuran. Kan lebih enak kalo diseragamkan saja semua.

Trus, saya coba tanya, “memangnya kuat pak, kalo pake UNP?”

Kata si bapak, “Ooh.. yang penting kan luasan penampangnya sama. Lagian saya sudah sering ngerjain yang seperti ini”

Saya tanya lagi, “Trus, taunya kuat ato nggak bagaimana, pak?”

Jawab si bapak,”Lhaa.. itu yang sudah saya bangun nggak ada yang rubuh.”

Saya coba komentar, “Nggak ada yang rubuh mungkin karena kebetulan, pak. Lagipula bapak nggak bisa mengganti profil baja seenaknya. Saya sih bisa nggak masalah, saya tinggal buat catatan aja kalo bapak tidak mengikuti gambar rencana. Jadi, kalau nanti ada masalah misalnya atapnya rubuh, saya tinggal panggil bapak. Masalah kuat atau nggak kuat, saya nggak berani ngomong di sini. Saya harus buktikan lewat analisis dan hitungan. Lagipula ada alasannya kenapa kami pakai pipa dibanding profil lain. Batang yang diagonal yang itu dominan mengalami tekan. Kalau pakai pipa, kekauannya sama ke segala arah, tidak ada sumbu lemah sumbu kuat, sehingga tekuk lateral bisa dihindari. Kalau pake UNP, waktu mengalami tekan, dia bisa bengkok ke arah sumbu lemahnya, walaupun luas penampangnya sama dengan pipa sebelumnya.”

tukang02

Bapak itu cuma senyum-senyum. Sekilas tersirat ada rasa “tidak mau menerima” penjelasan saya. Memang sih beliau jauh lebih tua dari saya, saya perkirakan ada selisih 15-20 tahun antara saya dengan bapak itu.

Saya juga tidak meragukan pengalaman si bapak. Tidak sedikit “improvisasi” yang dia lakukan di lapangan, seperti mengubah sambungan baut menjadi las, atau sebaliknya, menambah pelat-pelat pengaku karena “merasa” tidak aman dengan detail yang kami berikan.

Kondisi itu tentu saja sedikit merepotkan kami, karena kami harus memastikan bahwa yang mereka lakukan masih masuk batas toleransi, masih bisa dipertanggungjawabkan secara teknis (bukan sekedar pengalaman).

Kami, meskipun masih dalam hitungan tahun dalam melakukan desain, sangat jarang mengandalkan pengalaman. Misalnya saja mendesain balok beton. Tak terhitung sudah ratusan kali kami melakukan desain balok beton, tapi tetap saja kami harus menghitung, tidak pakai kata “biasanya”. Alasannya: setiap bangunan punya karakteristik yang berbeda-beda, kondisi pembebanan, luas tributari, kondisi lingkungan, mutu material, metode pelaksanaan, perilaku bangunan keseluruhan, dan lain-lain. Atap dak beton tentu beda dengan lantai beton. Atap dak terkespos oleh hujan, otomatis dibutuhkan selimut beton yang lebih besar agar air tidak bisa merembes ke dalam besi tulangan. Dan masih banyak contoh lainnya.

tukang03Beberapa hari kemudian, saya melakukan kunjungan lagi ke lokasi. Saya tidak ketemu lagi dengan bapak si tukang baja. Tapi, saya melihat ada tumpukan batang-batang pipa baja di salah satu sudut lokasi proyek. Hmmm.. saya nggak tau apakah si bapak sudah coba-coba menghitung juga, atau… yaaa.. mungkin si bapak nggak mau pusing-pusing nantinya. Hehe..

Pengalaman itu adalah satu dari berbagai pengalaman yang saya yakin bukan hanya saya yang mengalami, tapi hampir sebagian besar yang mengaku sebagai “engineer” pernah mengalami hal yang serupa. Yah.. walaupun demikian, banyak juga ilmu yang bisa kita curi dari para “Tukang Kelas 1” yang sudah kaya akan pengalaman tersebut. Tidak mustahil, perpaduan pengalaman mereka dan apa yang kita miliki bisa melahirkan seorang “Tukang Insinyur Kelas 1”. Saya punya rekan seorang engineer yang pengalamannya sudah jauh di atas saya. Dan beliau tetap selalu mengutamakan check dan analisis sebelum mengeluarkan pernyataan “kuat” atau “tidak”, walaupun itu cuma sekedar mengecek konstruksi rumah 2 lantai. 🙂

Kalau boleh saya simpulkan, para Tukang Kelas I menyatakan suatu bangunan atau komponen struktur itu kuat jika belum ada riwayat dan pengalaman keruntuhan yang mereka alami. Sementara para engineer menyatakan kekuatan suatu bangunan sebagai perbandingan antara kemampuan menahan beban versus besarnya beban maksimal yang mungkin diterima oleh bangunan tersebut. Menurut anda? []

Comments

  • Percakapan ini realita Dunia Teknik Sipil di Indonesia. Saya melihat ada kesalahan dalam masing-masing. Tingkat SMK, D1, D2 ,D3 , D4 dan Otodidak kapasitasnya sebagai pekerja terampil dan terlatih sering campur tangan tampil sebagai pemikir, perancang. Pihak lain S1, S2 , S3 dan Proffesor juga dijumpai ada yang tidak mengoleksi/mengarsipkan data pengalaman, sesuatu yang butuh waktu mendesak masih menunggu analisa, dsb. padahal data pengalaman bisa dipakai untuk solusi. Masalah pendukung semacam laporan nota desain,dll. dapat menyusul asal solusi lapangan sesuai nota desain atau analisa.

  • says:

    Yup, saya rasa apa yg ediesa sampaikan cukup bijak. Jangan sampai hubungan tukang – insinyur memanas karena kondisi proyek yang panas. Sampaikan argumen secara persuasif. Lebih baik kalo disertai analisa perhitungan.

  • hal seperti ini banyak terjadi ..bukan sekali dua kali ….tapi sebagai engineer yang mendapat bekal dari bangku sekolah/kuliah bila dilapangan jangan sekali-kali memotong omongan tukang atau helper yang sedang bekerja hal ini sangat membahayakan engineer … sebaiknya diajak bicara ke kantor di terangkan dengan penjelasan yang mudah dimengerti bahasa tukang…sebab akibat..dan logika yang mudah dimengerti tukang bila memakai ini seperti ini akibatnya dijelaskan dipapan board biar tidak ada lagi berdebatan di lapangan….dan bila kurang jelas diulangin lagi sampai mengerti ..dan ingat pekerjaan proyek itu arena panas kita tidak tahu ada apa atau sedang memikirkan apa si tukang atau helper….

  • waah, saya tertarik dengan artikel ini, berhubung saya masih kuliah, ini akan jadi motivasi sy.
    insy jika sudah menjadi engineer beneran, saya akn mngutamakan analisis dan checknya trlebih dahulu 🙂

  • Salam, saya tertarik dgn tema tulisan diatas. Kebetulan saya bukan di tek sipil tapi perkapalan. Menanggapi tulisan diatas saya sedikit teringat proyek bangun baru kapal saya, yang sama persis dgn yg mas alami. Namun disini saaya posisi sbg perencana/engineer sekaligus pengawas. Memang awalnya jengkel namun itulah bedanya engineer dgn tukang, tukang hanya dibekali ilmu pengalaman saja namun engineer dibekali ilmu perencanaan dan perhitungan. Pilihan kita lbh bnyk dari para tukang tsb, mau pake pipa atau beam jenis apa saja STOP jgn berdebat krn tdk ada gunanya! Lbh baik kita tanggapi dgn kata bijak “ok pak coba saya hitung lagi” krn kta tdk bisa idealis macam di kuliah. Karena prinsip insinyur adalah problem solving bukan trouble maker, banyak sekali faktor2 di lapangan yg tdk d pelajari di kampus yaitu ekonomi, sosial budaya bahkan politik juga
    Rery_its@yahoo.co.uk

  • begitulah perbedaan antara tukang insiyur klas 1 dan Ahli konstruksi ,,, perbedaan yang telah di takdirkan namun ,,, apapun alasan nya kita bekerja dalam ruang lingkup Hukum, Peraturan, Dan Perencanaan jika kita telah mengikuti hal pokok itu dan konstruksi nya rubuh ” bukan salah saya dong ” ,,,,, namun jika dengan pengalaman ,,, bisa jadi tidak runtuh namun jika runtuh kita mau bilang apa pada dunia. ????
    kalau saya sering mengatakan ” kerjakan seperti di gambar jika anda keberatan diskusikan dengan peren cana” bagai mana pun sya harus mengikuti gambar kerja . he he he

  • harus ada kerjasama yang baik, seharusnya seorang ahli konstruksi lebih cenderung menggunakan analisanya sedangkan tukan selalu mengandalkan pengalamannya, sebetulnya itu adalah hal yang sangat bagus sekali jika dikolaborasikan.

  • Tukang punya pengalaman sendiri, namun mereka jarang menganalisa kenapa kok pake ini, kenapa pake itu? Kalau Insinyur sipil fresh, punya ilmu namun tidak berpengalaman, biasanya merasa pinter dan egonya tinggi.
    Kalau menyelesaikan problem di lapangan memang harus tetap sesuai RKS dan Shop Drawing, namu yakinlah bahwa ” no perfect plan “. Semuanya akan diuji dilapangan.
    Belum pernah saya jumpai gambar yang 100% bisa dilakukan dilapangan selama ini. Semua perlu revisi berdasarkan aktual kondisinya.

  • says:

    Assalamu Alikum Wr. Wb
    Salam buat rekan-rekan semuanya, masalah seperti diatas sering saya hadapi di lapangan, mungkin sekedar tips buat rekan-rekan untuk menghadapi tukang Kelas 1 yang di perlukan hanyalah penjelasan sederhana dan ilustrasi agar si tukang dapat mengerti mengenai pemahaman struktur, berilah contoh sederhana agar mudah dimengerti, jangan mengandalkan kajian teknis saja, agar kita tidak terlihat menggurui para tukang tapi dapat dianggap sebagai mitra mereka, intinya hanya masalah penyampaian saja, alhamdulillah selam ini saya menggunakan trik ini untuk mendekati tukang-tukang kelas 1, bahkan banyak juga ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dari mereka,,,, salam 🙂

  • says:

    bagaimana ya..
    kira2 kl si bapak tukang yang terhormat nda mau mendengar yg kita jelaskan..
    dan bersikeras kl yg dia katkan benar atau bahkan dia marah karena merasa tak dihormati gimana????
    apa lagi kl seorang perempuan yg dia hadapi>???

  • says:

    Salam kenal dan salam hormat buat juragan dengan ilmu-ilmu hebatnya
    dan Salam kenl juga buat komunitas t.sipil di blog ini.

    Ketika memainkan search engine google saya membaca “tukang insinyur kelas 1” dan langsung membacanya krn ada rasa penasaran.

    Dalam pengalaman kerja saya, dunia konstruksi kita utk kelas menengah ke bawah (pembangunan ruko 2-3 lantai, rumah tinggal 2 lantai, gudang barang dsb yg sejenis), tidak di dominasi oleh kita para engineer.. Sebagian besar masih dikendalikan oleh “Tukang kelas 1” yang tampil dgn kata “pengalaman” wajah tuanya yg terkesan matang dan meremehkan engineer apalagi para pemula (fresh graduate engineer).

    Untuk cerita yang pernah Bapak alami, sering saya alami saat pengawasan proyek dan saya selalu berdebat karena berprinsip bahwa pekerjaan harus sesuai dgn shop drawing dan rks2nya terutama pada item pekerjaan strukturnya. Saya tidak pernah memakai kalimat “nanti Bapak yang tanggung jawab” karena para Tukang bisa berlebihan improvisasinya dan mereka tidak mendapat pemahaman/pelarajan yg baik walau pengalaman segudang. Saya selalu berusaha mengajak diskusi mereka, memakai bahasa teknik sederhana yg muda dipahami dan membandingkannya dgn pekerjaan2 pada pengalaman mereka.
    Untungnya……metode saya ini masih berhasil sampai sekarang.

    Sebagai konsultan (pengawas) kita bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan yg berdasarkan shop drawing / rks2nya. nah cara menerjemahkannya dalam interaksi diproyek yah itu melalui metode kita masing2 orang sesuai dengan kondisi yg berlaku.

    Intinya yang membedakan kita dengan mereka adalah latar belakang pendidikan, jadi kalo diskusi dan kerjasama dgn mereka biasanya menghasilkan kualitas pekerjaan yg luar biasa dgn metode2 kerja yg praktis.

    Salam W.W.W.Toron

  • sya jadi inget bbrpa tahun yg lalu sya berdebat ttg suatu pengajuan desain dari kontraktor bumn. sya ngga approved ‘coz idealisasi pemodelan struktur ngga sesuai. dia komplain, dan bawa nama jargonnya dari universitas ternama di surabaya. project tetap berjalan ngikutin desainnya, ya memang disini (endo) posisi konsultan kurang sya. karena kesal dan jaga diri, dibuatlah surat teguran resmi ke kacab mempersiapkan jika suatu saat terjadi sesuatu dgn struktur tsb.

    kalo masalah tukang itung, saya malah lebih merasa beruntung bertemunya. sya akan tanya bangunan dimana, konfigurasi gimana, gbr for con. sya minta copy nya buat liat dan orat2oret plus klak-klik yah cari tau. bila sempat malah berkunjung liat langsung bangunannya. kalo ternyata ngga sesuai antara itungan sya dgn kenyataan pastinya sya bakalan bertanya2 pd diri sendiri ada yg ngga sesuai dgn asumsi dan prediksi sya. ini kenapa?? karena asumsi adalah idealisasi pemodelan matematis struktur dan pada desain semua rumus diturunkan dari penilitian di labs yg sudah di benchmark.

    mengenai sf yg digede2in sya kurang setuju oom 🙂 influences ku bukan timur dan juga melihat local code phi_shear dari yg tadinya 0.6 (SNI-91) sekarang malah lebih berani jadi 0.75(SNI-02)

    • wuih.. ini baru yang namanya engineer.
      Benar kan? Saya yakin anda sudah banyak pengalaman dalam bidang ini, tapi untuk urusan justifikasi kekuatan suatu struktur, anda tidak sekedar mengandalkan “perasaan” dan “pengalaman”. Anda tentu lebih mengedepankan analisis yang dapat dipertanggungjawabkan.

      Ok.. ntar disambung..nice to discuss with you

  • Terima kasih komentarnya, bung parhyang.
    Betul kata bung. Memang kami selalu dokumentasikan progress konstruksi entah itu dalam bentuk laporan tertulis, foto, dll.

    Untuk proyek skala menengah dengan manajemen proyek yang “apa adanya”, tidak terorganisir dengan baik, apalagi ditambah dengan owner bertangan dingin dan sedikit kurang menghargai profesionalisme, biasanya konsultan/pengawas dituntuk lebih kreatif dan lebih banyak inisiatif dalam memonitor.
    Sementara kontraktor 100% tunduk dan patuh kepada kemauan owner. Sehingga kadang-kadang fungsi konslutan sebagai advisor tidak optimal, kalah dengan egoisme dan arogansi dari owner yang kadang lebih mengandalkan pengalaman daripada coret-coretan di atas kertas.
    Kami pikir tidak sedikit tipe proyek yang seperti ini.. 🙂

    Di negara kaya seperti daerah timur tengah sana, faktor cost untuk struktur sepertinya sudah dicoret. Mereka rela membuat konstruksi dengan safety faktor yang berlebihan terutama untuk gedung-gedung mewah di sana. Ini berdasarkan cerita pengalaman salah satu rekan di sana. Tapi memang wajar, kalo dibandingkan dengan cost untuk arsitektur, interior, landscape, dan teknologi-teknologi canggih pendukung gedung tersebut, ongkos struktur memang masih kecil.
    Kami malah mikir, “kalo gitu, nggak ada seninya lagi dong”.. masih lebih hebat engineer di Indonesia. 🙂

    Hehe, mengenai bangunan monumental, di Indonesia ada sebuah konstruksi yang secara kasat mata terlihat tidak stabil, agak riskan, bikin khawatir bagi beberapa orang awam. Bangunan itu adalah Patung Pancoran 🙂 Sudah beberapa komentar orang yang kami dengar yang mempertanyakan kondisi patung tersebut. Malah sebuah komentar menarik berkata bahwa patung itu sudah tua, sebentar lagi akan rubuh, apalagi di sekitanya banyak bangunan-bangunan tinggi dan jalan layang yang sepertinya mempengaruhi patung tersebut. Kami hanya bisa tersenyum, dan mengagumi karya “cerdas” tersebut. Kami hanya bisa berkata, seandainya mereka menggali pondasi patung itu, mereka akan tau rahasianya.

    Eh.. baru saja terlintas sebuah quote yang menarik:
    Seorang Tukang Kelas 1 sangat pandai membuat konstruksi yang terlihat kokoh walaupun belum tentu sekokoh yang dibayangkan.
    Seorang engineer bisa membuat konstruksi yang terlihat tidak kuat dan kelihatan labil, padahal sebenarnya konstruksi itu lebih kuat dari yang dibayangkan.

    Bukannya mau mendiskreditkan para Tukang. Kami cuma khawatir dengan kejadian beberapa tahun terakhir yang seolah-olah sebagai seleksi alam terhadap bangunan-bangunan di Indonesia, mana yang “well-engineered” building, “semi-engineered” building, atau “just-do-it” building. 🙂

    Anyway…, dalam kasus yang kami ceritakan di atas, akhirnya si kontraktor mau mengikuti desain kami yang menggunakan pipa.

    Skali lagi thanks buat masukannya, bung.
    Semoga sehat dan sukses selalu.[]

  • “Saya sih bisa nggak masalah, saya tinggal buat catatan aja kalo bapak tidak mengikuti gambar rencana. Jadi, kalau nanti ada masalah misalnya atapnya rubuh, saya tinggal panggil bapak.”

    ngga bisa gitu, apalagi cman lisan aja bisa berabe kalo nunggu rubuh gitu gmna dgn yg didalam?? mendingan dicheck ulang. kalo menurut anda ok ya approved dan sebaliknya, itu khan memang tugas konsultan/pengawas kao ngga gitu trus scope of works nya ngapain aja ngga jelas.

    Syarat struktur bukan hanya kekuatan, stabilitas, kekakuan dll (strength) saja namun juga perlu meninjau sisi ekonomis, kemudahan pelaksanaan, ketersediaan SDA/SDM lingkungan lokasi pekerjaan dll (reliability). Kalo sekedar kuat menara eifell yg didesain awal thun 1900-an aja masih survive setelah hampir 100thn ini, dan terkesan kokoh banyak yg bilang begitu. namun saya belum pernah dengar berapa angka amannya SF thd smua beban yg mungkin. ada link??

    UNP bisa jadi lebih kuat kalo dibuat tidur (strong axis in out of plane global buckling modes) dibanding pipa dgn luasan sebanding. Penampang tertutup (pipe/hollow) lebih cenderung efektif terhadap puntir dibanding kasus diatas.

    salam, parhyang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *